JIWA MANUSIA DAN ALAM SEMESTANYA


manusia dengan macam variasi, bentuk dan tindakannya dalam hubungannya dengan alam semesta dan realitas kehidupan. Manusia sebagai subyek harus memahami apa yang ada di luar dirinya. Dengan memahami hal itu, maka akan membuka mata hati, akan terbuka jalan menuju Tuhan. Memahami alam dan realitas kehidupan manusai sehari-hari akan memberi pelajaran berharga bagi jiwa manusia.

Manusia seringkali tertutup untuk memahami dan merenungkan kenyataan alam dan realitas kehidupan yang mengitarinya. Jika pun dipahami, tapi sebatas apa yang dapat dilihat dan dirasakan. Bila sebatas ini yang hanya dipahami, maka sampai kapanpun dia tidak akan pernah sampai pada tujuan (Allah). Alam semesta dengan berbagai realitas kehidupan hanya dipahami dari sudut manfaatnya bagi kebutuhan lahir, lepas dari dimensi bathin. Oleh karena itu, tidak heran bila jiwa manusia dikuasai oleh alam, bukan sebaliknya, menguasai dan belajar dengan alam. Maka dari itu, jiwanya menjadi kerdil, terpaku dan terbuai alam. Merasa alam menguasai dirinya. Dan tindakannya mengikuti alam dan realitas kehidupan yang ada semu. Orang yang seperti itu, adalah hidup tanpa tahu hakekat dirinya. Mudah tertipu danjiwanya terselubung oleh nafsu-nafsu kebendaan.

Lantas bagaimana seharusnya agar jiwa manusia tidak terpengaruh oleh alam dan kehidupan yang mengitarinya? Jawabannya akan kita pahami dengan penjelasan berikut ini:

a. Pemahaman Pertama
Pemahaman pertama yang harus kita ketahui adalah bahwa hakekat jiwa dan alam semesta adalah satu lingkaran penuh. Jiwa dan alam berada dalam satu lingkaran yang dibawah naungan satu pencipta (Allah). ia tidak berubah serta tidak mengenal batas akhir dan awal. Serta tidak ada penyimpangan sedikit pun. Apa yang dialami oleh manusia terhadap alam sekelilingnya sebenarnya adalah satu kesatuan. Ada siang, ada malam. Ada pagi, ada sore. Ada baik, ada buruk. Kontradiksi alam yang dulihat manusia itu sebenarnya tidak ada yang berubah, andai merasa berubah itu hanya anggapan manusia sendiri.

Satu contoh, coba kita perhatikan fenomena terjadinya siang dan malam, apakah dengan pergantian malam dan siang itu akan merubah bentuk bumi atau bentuk matahari? Apakah dengan pergantian malam dan siang itu akan merubah waktu? Bukanlah pergantian malam dan siang hanyalah perasaan manusia saja. Bukanlah alam sendiri tetap seperti adanya, tanpa ada perubahan apa-apa. Kemudian, kenapa manusia selalu tertipu oleh kenyataan yang seperti itu, sehingga jiwanya menjadi sempit seolah-olah terhimpit oleh kenyataan alam itu sendiri? Jawabannya, karena jiwa manusia tidak dapat melepaskan diri, terbelenggu dan terikat karena beranggapan alam dan realitas dunia dengan segala variasinya adalah satu tujuan, sehingga jiwa sulit keluar dari lingkaran alam dan dunia yang mengitarinya.

b. Pemahaman Kedua
Pemahaman kedua adalah pemahaman terjadap jiwa manusia itu sendiri. Kalau alam itu bulat dan luas, maka jiwa manusia itu sendiri adalah bulat dan luas seperti alam. Jiwa manusia menjadi terbatas adalah karena manusia itu sendiri. Alam tidak akan pernah mempengaruhi manusia untuk memperkecil kadar bulat danluasnya jiwa. Ia tetap berdiri. Hanya saja tergantung jiwa, apakah ia terpengaruh atau tidak dari alam akan menjadi seluas apa yang ia lihat, dan bahkan lebih. Tapi, jika dikerutkan maka akan menjadi kecil seluas tempat semayam jiwa itu sendiri.

Untuk memahami ini, kita ambil satu contoh dari realitas kehidupan keseharian. Kita sering diterpa dengan berbagai cobaan silih bergantio. Untuk menghadapinya dan menempatkan kadar besar kecilnya berbagai cobaan itu, bukankah tergantung pada kelapangan jiwa kita sendiri. Jika cobaan itu dianggap besar, maka jiwa akan menjadi sempit. Tapi jika cobaan dianggap kecil, maka jiwa akan bebas, lapang dan luas. Jadi besar kecilnya jiwa dalam melihat realitas adalah tergantung pada jiwa itu sendiri. Realitas alam yang kita lihat, kita hadapi atau kita jumpai sebenarnya tidak akan mempengaruhi jiwa manusia. Hanya jiwa manusia saja yang merasa dipengaruhi karena begitu sempitnya jiwa.

c. Pemahaman Ketiga
Pemahaman ketiha adalah inti jiwa dan alam itu sendiri. Inti jiwa adalah lingkaran yangluas. Inti alam pun sebuah lingkaran luas pula. Apa yang dilihat oleh mata sebenarnya hanyalah “bayangan”, bukan yangsesungguhnya. Begitu juga alam menjadi luas karena jiwa yang melihat luas dan seluas alam itu sendiri. Besar kecilnya alam tergantung pada jiwa manusia masing-masing. Selama jiwa masih bersemayam dengan perasaan yang luas, maka selama itu pula jiwa tidak akan pernah puas.

d. Pemahaman Keempat
Orang yangmengerti tentang bagaimana luasnya jiwa bila ia dihadapkan pada kenyataan. Ukuran keluasan jiwa seseorang dapat diukur dari sejauhmana ia menempatkan sesuatu pada tempat yang seharusnya, tanpa mempengaruhi eksistensi jiwanya. Orang yang seperti ini adalah orang yang tidak dapat dipengaruhi oleh sesuatu yang bersifat lahir selain apa yang ada pada jiwanya. Dalam memahami ukuran luas lingkaran jiwa, maka secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut:

Pertama, lingkaran kecil, yaitu dimana jiwa yangasalnya luas tapi pengaruh dari hal-hal yang kecil maka tidak dapat menguasai dirinya. Eksistensi jiwa teracuni bahkan larut di dalamnya. Masalah-masalah yang kecil sesempit rongga dadanya. Yang seharusnya tidak perlu dipikirkan, malah justru dipikirkan, sehingga putus asa, gelisah dan hilang keseimbangan diri. Selama lingkaran jiwanya masih terpengaruh kepad ahal-hal kecil, maka selama itu pula tidak akan mengerti jiwanya sendiri.

Kedua, lingkaran sederhana, yaitu lingkaran jiwa seluas masalah yang dihadapinya. Jiwanya tidak terpengaruh pada masalah kecil dan dapat menguasai jiwanya. Masih dapat bersikap tenang dalam menghadapi masalah. Setiap masalah dianggap hal yang biasa-biasa saja tapa meracuni jiwanya. Fokus jiwa dapat ditempatkan pada tempat yang semestinya. Jiwanya tidak akan gelisah dan senantiasa tenang meskipun dihadapkan pada masalah-masalah yang besar.

e. Pemahaman Kelima
Tanda-tanda orang yang mempunyai keluasan jiwa terletak pada kepasrahan diri terjadap alam sekelilingnya. Jiwa bukan lagi dikendalikan oleh dirinya, tetapi dikendalikan oleh kekuatan “Yang Tak Terbatas”, yang memiliki jiwa itu sendiri. Andaikan ia dapat menguasai atau tidak terpengaruh oleh alam, itu semata-mata karunia kekuatan “Yang berada diluar jiwanya”. Bila sese orang sampai ketingkat jiwa yang seperti ini, berarti ia telah memiliki kekuatan dan keluasan jiwa yang tak terbatas, sehingga ia pun memiliki potensi untuk menguasai jiwa-jiwa orang lain. Kemudian bagaimana caranya? Tiada cara lain kecuali membiasakan dan melatih diri sehingga memperoleh karunia pengetahuan dan pemahaman tentang jiwa. Yang memberikan karunia ini bukan dengan usaha potensi pikiran, melainkan karunia yang bersumber dari Pencipta Jiwa itu sendiri. Maka dari itu, dikatakan yang 'ahli jiwa' bukan mereka yang mempunyai segudang teori tentang kejiwaan, melainkan mendapatkan karunia pengetahuan hakekat kejiwaan yang langsung diperoleh dari Sang Pencipta Jiwa, yaitu Allah.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentar anda !