A. Tidak Boleh
Menurut jumhur ulama’ hukum berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita lain (ghoiru muhrim) adalah tidak diperbolehkan, dengan alasan keterangan dari Siti Aisyah ra. Bahwasanya Rasulullah saw. tidak pernah sama sekali berjabat tangan dengan perempuan kecuali dengan istri dan putri beliau. diterangkan dalam kitab Hasiyah as-Showi ala Syarhi as-Shaghir juz 11 hal.279.
قَوْلُهُ : [ وَلاَ تَجُوزُ مُصَافَحَةُ الرَّجُلِ الْمَرْأَةَ ] : أَيْ الْأَجْنَبِيَّةَ وَإِنَّمَا الْمُسْتَحْسَنُ الْمُصَافَحَةُ بَيْنَ الْمَرْأَتَيْنِ لَا بَيْنَ رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ أَجْنَبِيَّةٍ
keterangan di dalam kitab as-Sunan al-Kubra li an-nasa’i juz 5 hal 393
أَخْبَرَناَ مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى قَالَ أَخْبَرَ ناَ عَبْدُ الرَّزَّاقْ عَنْ مُعَمَّرْ عَنِ الزُّهْرِيْ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قالت مَا مَسَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطٌّ إِلاَّ امْرَأَةً يَمْلِكُهَا
B. Makruh
Hukum berjabat tangan antara orang laki-laki dengan perempuan lain menurut riwayat Ibnu Mansur secara mutlak adalah dihukumi makruh
( وَلَا تَجُوزُ مُصَافَحَةُ الْمَرْأَةِ الْأَجْنَبِيَّةِ الشَّابَّةِ ) لِأَنَّهَا شَرٌّ مِنْ النَّظَرِ ، أَمَّا الْعَجُوزُ فَلِلرَّجُلِ مُصَافَحَتهَا عَلَى مَا ذَكَرَهُ فِي الْفُصُولِ وَالرِّعَايَةِ وَأَطْلَقَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ مَنْصُورٍ : تُكْرَهُ مُصَافَحَةُ النِّسَاءِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنُ مِهْرَانَ : سُئِلَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ عَنْ الرَّجُلِ يُصَافِحُ الْمَرْأَةَ قَالَ : لَا ، وَشَدَّدَ فِيهِ جِدًّا قُلْت : فَيُصَافِحهَا بِثَوْبِهِ قَالَ : لَا قَالَ رَجُلٌ : فَإِنْ كَانَ ذَا رَحِمٍ قَالَ : لَا قُلْت : ابْنَتُهُ قَالَ : إذَا كَانَتْ ابْنَتُهُ فَلَا بَأْسَ وَالتَّحْرِيمُ مُطْلَقًا اخْتِيَارُ الشَّيْخِ تَقِيِّ الدِّينِ وَيَتَوَجَّهُ التَّفْصِيلُ بَيْنَ الْمُحَرَّمِ وَغَيْرِهِ ، فَأَمَّا الْوَالِدُ فَيَجُوزُ قَالَهُ فِي الْآدَابِ .
Keterangan kitab Kasyfu al-Qona’ ‘an matan al-Iqna’ juz 4 hal.467. dan juga dijelaskan dalam kitab al-Adab as-Syar’iyah juz 2 hal. 360.
C. Boleh
Menurut Imam al-Adzro’i “orang laki-laki boleh memijit paha teman laki-lakinya dengan syarat menggunakan tirai/tabir, dan aman dari fitnah. Dan dari pendapat Imam al-adzro’i itulah diambil hukum bahwa berjabat tangan antara kaum lelaki dengan perempuan lain adalah boleh dengan syarat dengan adanya hajat (untuk penghormatan), dan harus menggunakan tirai/satir walaupun sudah aman dari fitnah dan sudah tidak adanya syahwat. Diterangkan dalam Tukhfah al-Mukhtaj fi Syarkhi al-Minhaj juz 29 hal.239. versi Maktabah Syamilah
( وَيَحِلُّ نَظَرُ رَجُلٍ إلَى رَجُلٍ ) مَعَ أَمْنِ الْفِتْنَةِ بِلَا شَهْوَةٍ اتِّفَاقًا ( إلَّا مَا بَيْنَ سُرَّةٍ وَرُكْبَةٍ ) وَنَفْسِهِمَا كَمَا مَرَّ فَيَحْرُمُ نَظَرُهُ مُطْلَقًا وَلَوْ مِنْ مَحْرَمٍ ؛ لِأَنَّهُ عَوْرَةٌ قَالَ الْأَذْرَعِيُّ وَالظَّاهِرُ أَنَّ الْمُرَاهِقَ كَالْبَالِغِ نَاظِرًا أَوْ مَنْظُورًا، وَيَجُوزُ لِلرَّجُلِ دَلْكُ فَخِذِ الرَّجُلِ بِشَرْطِ حَائِلٍ وَأَمْنِ فِتْنَةٍ وَأُخِذَ مِنْهُ حِلُّ مُصَافَحَةِ الْأَجْنَبِيَّةِ مَعَ ذَيْنِك وَأَفْهَمَ تَخْصِيصُهُ الْحِلَّ مَعَهُمَا بِالْمُصَافَحَةِ حُرْمَةَ مَسِّ غَيْرِ وَجْهِهَا وَكَفَّيْهَا مِنْ وَرَاءِ حَائِلٍ وَلَوْ مَعَ أَمْنِ الْفِتْنَةِ وَعَدَمِ الشَّهْوَةِ وَعَلَيْهِ فَيُوَجَّهُ بِأَنَّهُ مَظِنَّةٌ لِأَحَدِهِمَا كَالنَّظَرِ وَحِينَئِذٍ فَيَلْحَقُ بِهَا الْأَمْرَدُ فِي ذَلِكَ وَيُؤَيِّدُهُ إطْلَاقُهُمْ حُرْمَةَ مُعَانَقَتِهِ الشَّامِلَةِ لِكَوْنِهَا مِنْ وَرَاءِ حَائِلٍ
Dalam kitab Syarhu an-Nail Wasyifaul ‘alil juz 9 hal 436 dijelaskan bahwa Rasulullah bersabda “Barang siapa berjabat tangan dengan orang yang alim maka fadhilahnya adalah seperti berjabat tangan denganku (Rasulullah)” dan dari situ diperbolehkan berjabat tangan kepada para alim bagi yang meyakini sabda Rasulullah itu walaupun seorang perempuan, bocah atau budak.
فَصْلٌ ” لَا تَفْتَرِقُ كَفَّا مُتَصَافِحَيْنِ فِي اللَّهِ حَتَّى تَتَنَاثَرَ ذُنُوبُهُمَا كَالْوَرَقِ ” رُوِيَ ذَلِكَ ، وَأَنَّهُ ” مَنْ صَافَحَ عَالِمًا فَكَأَنَّمَا صَافَحَنِي ” ، وَجَازَتْ مُصَافَحَةُ مُوَحِّدٍ وَإِنْ أُنْثَى أَوْ صَغِيرًا ، أَوْ رَقِيقًا إنْ لَمْ يَكُنْ كَبَاغٍ .
Dari paparan di atas tercermin bahwa perbedaan pendapat itu wajib bagi kita, bukan hanya ulama’ saja yang berbeda pendapat, Nabi Musa dengan Nabi khidzir juga berbeda pendapat kok, sampai-sampai Allah mengabadikan kisahnya di dalam al-Qur’an (lihat al-Qur’an surah al-Kahfi ayat 60 s/d 82 juz 16), agar kita bisa mengambil gambaran dan contoh dari cerita tersebut bahwa perbedaan itu tidak bisa dihindari dan dihilangkan.
Oleh karena itu marilah kita saling menghormati dan menghargai suatu perbedaan, kita utamakan saling mengevaluasi diri sendiri sebelum mengevaluasi orang lain, sudah bisakah kita menghargai orang lain?, kalau belum marilah kita bersama-sama belajar untuk saling menghargai dan menghormati perbedaan diantara kita, sehingga suatu perbedaan tersebut bisa menjadi suatu keharmonisan dan membawa nikmat dan juga rahmah yang indah bagi kita. Karena sudah dikatakan dalam kitab Hasiyah al-Bujairomi juz 9 hal 71.
اِ خْـتِـلاَ فُ اْلـعُـلـَمـَاءِ رَحْـمَـةٌ
PERBEDAAN ULAMA’ ITU ADALAH RAHMAT
RENUNGKANLAH
MONDAY,03,MAY,2010/BY SANDRA-KSA
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentar anda !